Senin 27/1/2025 – Isra Mi’raj adalah dua perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam waktu satu malam. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam. Sebab, pada peristiwa ini Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam.
Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer.
Namun demikian, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah ra meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab. Dan saat itu belum ada kewajiban salat lima waktu. Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi’raj.
Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah sekaligus titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW.
John Renerd dalam buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW “berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”.
Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari salat yang dijalankan umat Islam sehari-hari. Dalam artian, salat adalah mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.
Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam dua peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini, Nabi mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Ada beberapa pertanyaan mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj. Salah satunya, mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsa? Kenapa tidak langsung saja ke langit? Paling tidak ada beberapa hal hikmahnya.
Pertama, Bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Hikmah lainnya adalah, bahwa Nabi Muhammad berdakwah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berdakwah di sekitar Palestina. Kalau dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan “golongan” Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya.
Kedua, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 12, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak mesti secara langsung.
Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu da’wah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan para nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa mereka pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya. Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da’i, bahwa dalam kesulitan dakwah itu bukan berarti Allah tidak mendengar.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Dari ajaran langit tersebut, terdapat nilai-nilai signifikan bagi sebuah kepemimpinan. Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat yang mengemukakan peristiwa Isra’ Mi’raj, yang dimulai dengan ”tasbih”, juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam ditambah dengan wudlu, maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga integritas moral. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral (revolusi mental) yang dimulai dari tingkat aparaturnya.
Kedua, selain integritas moral (akhlaqul karimah), yang tidak kalah pentingnya adalah belajar kepada sejarah. Ia bisa berupa nilai-nilai yang berkenaan dengan masa lampau, dapat pula berupa pengalaman dari orang per-orang yang pernah menjalankan sebuah kepemimpinan. Dengan demikian kontinuitas kesejarahan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Dalam ungkapan kaidah fiqh, ”Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik” (Al-muhafazah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah).
Ketiga, dengan integritas moral serta nilai-nilai kesejahteraan itu, diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terpincut godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika melakukan Mi’raj-nya. Kepemimpinan yang demikian hanya dimungkinkan, manakala seluruh aparaturnya tegak lurus dalam melaksanakan keadilan (al-‘adallah), dengan didasari oleh nilai-nilai persamaan di muka hukum (al- musawwah). Hal ini pun akan dapat berjalan baik, manakala aparatur tersebut bersikap konsisten dan disiplin (istiqamah), dapat dipercaya (amanah) serta mau merundingkan segala persoalan — yang menyangkut kepemimpinan – secara bersama (musyawarah). Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni jangan sampai ia berlagak atau bersikap sok pintar atau merasa paling tahu terhadap semua urusan (tanatthu’). Terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw), baik bagi yang dipimpin atau pun sang pemimpin itu sendiri.
Keempat, hendaknya kebijakan seorang pemimpin membumi kepada hati dan kebutuhan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, hal itu telah diteladankan Nabi saw, ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu Allah. Padahal pertemuan dengan Allah-lah cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi (para ”pencari Tuhan”). Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil’alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, ”Kebijakan pemimpin itu akan senantiasa berlandaskan pada kemaslahatan untuk rakyat” (Tasharrufu al-imam ‘ala ar-raiyyah manutun bi al-mashlahah).
Kelima, amanat Rasulullah saw untuk menegakkan salat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran salat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudlu atau dalam keadaan suci. Pelaksanaan salat itu sendiri, dimulai dengan mengagungkan Asma Allah (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan doa keselamatan bagi segenap umat manusia (salam).
Isra’ Mi’raj menyimpan banyak hikmah dan ibrah bagi orang-orang yang berakal sehat. Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram di Mekkah ke Masjid al-Aqsha di al-Quds, Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah naiknya Rasulullah SAW menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak bisa dijangkau oleh semua makhluk, malaikat, jin dan manusia. Dan perjalanan itu berlangsung hanya semalam (Said Muhammad Ramadhan al-Buthy, Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyah, Kairo: Dar al-Salam, 2012, hlm. 108).
Di balik keagungan mu’jizat ini, ada nilai-nilai pendidikan yang patut untuk direnungkan dan diaplikasikan. Demikian dikemukakan Kepala UPT Bahasa UNSIQ, Ibu Chairani Astina, M.Pd dalam pesan tertulis yang diterima bagian Sekretaris UPT Bahasa UNSIQ, Senin (27/1/2025). Tahun ini umat Islam kembali memperingati peristiwa Isra Mi’raj pada 27 Rajab 1446 H yang jatuh bertepatan dengan hari Senin.
Ibu Chairani Astina, M.Pd menjelaskan, sejarah mencatat bahwa keesokan harinya Rasullah SAW menceritakan peristiwa itu kepada penduduk Mekkah. Namun berita ditolak mentah-mentah oleh Abu Jahal dan para pengikutnya. Mereka justru menertawakan Rasululah dan mengolok-oloknya. Menurut mereka, perjalanan Nabi di malam hari itu tidak masuk akal. Sebaliknya, ada manusia cerdas seperti Abu Bakar yang bisa menerima kebenaran peristiwa itu tanpa banyak berpikir dan ragu.
Dengan tegas ia mengatakan “Jika memang benar Muhammad yang mengatakannya, dia telah berkata benar, dan sungguh aku akan membenarkannya lebih dari itu.” Atas keyakinannya yang teguh itu Abu Bakar kemudian diberi gelar al-Shiddiq yang berarti orang yang jujur dalam keimanan (Muhammad al-Khudari, Nur al-Yaqin, Beirut:Dar al-Fikr, 2001, hlm. 59)
JIbu Chairani Astina, M.Pd menegaskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj adalah momen yang baik untuk memperkuat aqidah umat Islam. Para pendidik Muslim harus melahirkan manusia-manusia beradab seperti Abu Bakar al-Shiddiq. Manusia-manusia yang keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya tidak menyisakan keraguan sedikitpun. Manusia yang memahami cara menggunakan akal dengan benar agar tidak berpikir nyeleneh.
“Bukan manusia yang “sok kritis” karena terlalu mendewakan akalnya yang lemah. Bukan manusia yang hilang keyakinannya karena “bertaqlid” kepada orang-orang Barat-Sekular yang bertentangan dengan pandangan alam Islam (Islamic Worldview),” paparnya.
Selain masalah aqidah, seperti dijelaskan Ibu Chairani Astina, M.Pd, Isra’ Mi’raj juga mengandung pendidikan ibadah. Dalam hal ini tentu saja tentang pentingnya mendirikan shalat. Sebab shalat adalah hadiah dari Allah SWT di malam Isra’ Mi’raj itu. Ibadah shalat adalah Mi’rajnya orang-orang mukmin. Isra’ Mi’raj adalah evaluasi ibadah shalat kita.
“Apakah shalat kita sudah benar, sesuai syarat, rukun dan adabnya? Apakah kita sudah istiqamah mendirikan shalat secara berjama’ah? Apakah keluarga kita sudah mendirikan shalat? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang harus dijawab terkait shalat yang kita laksanakan,” tutur Junaidi Safitri.
Lebih lanjut dipaparkan Ibu Chairani Astina, M.Pd, Allah SWT memerintahkan kita sekeluarga mendirikan shalat dan bersabar dalam mendirikannya (QS Thaha:132). Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan para orangtua agar memperhatikan masalah shalat sejak dini. Orangtua wajib mendidik anak-anaknya untuk mendirikan shalat sejak usia tujuh tahun. Bahkan orangtua diizinkan mendidik anaknya dengan pukulan jika mereka meninggalkan shalat ketika sudah berusia sepuluh tahun (HR Abu Daud).
“Atas dasar itu, para ulama seperti Imam al-Ghazali menjadikan shalat sebagai kurikulum inti dalam mendidik anak (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, Kairo:Dar Mishr li al-Thiba‘ah, 1998, Juz II, hlm. 91),” terangnya.
Ibu Chairani Astina, M.Pd menegaskan, perhatian terhadap pendidikan shalat ini harus lebih diutamakan daripada sekedar kemampuan membaca dan menulis. Jika orangtua khawatir anak-anaknya belum bisa membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar, maka orangtua harus lebih khawatir jika anaknya belum mendirikan shalat padahal mereka sudah di perguruan tinggi. Sebab anak adalah amanah, dan setiap amanah akan dituntut pertanggungjawabannya.
Ibu Chairani Astina, M.Pd menambahkan, buah yang diharapkan dari ibadah shalat ini adalah akhlak yang baik. Sebab Allah SWT menyatakan bahwa shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut:45). Banyak akhlak yang mulia di dalam shalat. Di dalam shalat kita dididik untuk menjadi orang yang cinta kebersihan, memakai pakaian yang beradab, disiplin waktu, siap memimpin dan dipimpin, rendah hati, menjaga persatuan, menebarkan kedamaian (salâm) kepada sesama dan sebagainya. Akhlak-akhlak mulia seperti ini hanya akan muncul dari orang-orang yang telah mendirikan shalat dengan benar, istiqamah dan ikhlas.
Dan yang tidak boleh dilupakan, Isra’ Mi’raj juga memberi isyarat pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat Islam harus meningkatkan semangat menuntut ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain dan fardhu kifâyah. Ilmu-ilmu syariah dan ilmu-ilmu umum. Sebab bangkitnya peradaban harus didahului bangkitnya tradisi ilmu.
“Umat Islam merindukan sosok ulama sekaligus ilmuwan seperti Ibn Haytham, al-Biruni, al-Khawarizmi dan sebagainya. Mereka semua bukan tokoh yang turun dari langit. Tapi tokoh yang lahir dari proses pendidikan yang Islami dan terintegrasi antara ilmu dan adab,” tandas Ibu Chairani Astina, M.Pd.
“Peristiwa Isra’ Mi’raj tidak akan terulang kembali. Tetapi semangat itu harus tetap menyala. Yaitu dengan memanfaatkan waktu, khususnya waktu malam dengan ilmu dan amal agar peradaban Islam bisa Mi’raj mengungguli peradaban lainnya.Wallâhu a’lam bi al-shawâb,” pungkasnya.